Selasa, 30 Maret 2010

Perkawinan serta Hak dan Kewajiban yang Berkaitan dengan Harta Perkawinan

Hak dan kewajiban yang berkaitan dengan kehidupan, hak dan kewajiban akan harta milik dan sebagainya bagi seorang laki-laki dan perempuan adalah hak dan kewajiban yang utuh.. Hak dan kewajiban mereka menjadi satu setelah mengikatkan diri dalam lembaga perkawinan. Pengertian menjadi satu tersebut bukan berarti hak dan kewajiban masing-masing pihak akan meleburkan diri, melainkan hak dan kewajiban mereka tetap utuh walaupun mereka telah bersatu dalam kehidupannya.
Pemahaman tentang hak dan kewajiban ini menjadi sangat penting dan sangat mendasar, apabila kita akan mengkaji lebih dalam tentang konsekuensi-konsekuensi dari kehidupan perkawinan, karena dalam kehidupan perkawinan, akan melahirkan hak dan kewajiban antara lain tentang anak serta hak dan kewajiban tentang harta. Begitu juga mengenai pembagian harta bila perkawinan putus baik karena perceraian atau karena kematian.
Apabila kita melihat peraturan yang mengatur tentang perkawinan dan harta perkawinan, kita dapat mengkaji beberapa pasal dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah RI No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1974.

UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

Bab VII
Harta Benda dalam Perkawinan
Pasal 35
1. Harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Dari peraturan ini kita akan memperoleh pengertian bahwa dalam perkawinan dikenal dua macam harta yaitu (1) harta bawaan (Pasal 35 ayat 2) misalnya ; pemberian, warisan, dan harta atas nama pribadi yang dimiliki sebelum perkawinan, dan (2) harta bersama (Pasal 35 ayat 1) yaitu harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing
Terhadap harta bawaan, Undang-undang No. 1 tahun 1974 mengatakan bahwa masing-masing pihak mempunyai hak dan untuk mengaturnya sendiri-sendiri. Karena itu harta bawaan tidak dimasukan kedalam harta bersama dalam perkawinan.

Mengenai siapakah yang berhak untuk mengatur harta bersama, terdapat pada Pasal 36.
Pasal 36
1. Mengenai harta bersama suami dan istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
2. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Dari bunyi aturan tersebut dapat diketahui, bahwa yang berhak mengatur harta bersama dalam perkawinan adalah suami dan istri. Dengan demikian salah satu pihak tidak dapat meninggalkan lainnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta bersama dalam perkawinan, karena kedudukan mereka seimbang yaitu sebagai pemilik bersama atas harta bersama itu.

Mengenai kewajiban suami dan istri terdapat padapat Pasal 34.
Pasal 34
1. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
2. Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
3. Jika suami atau Isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan ke pengadilan.

Pasal 37
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
Yang dimaksud dengan “hukumnya” masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya tetapi tidak menutup kemungkinan bagi para pihak untuk membuat kesepakatan membagi harta bersama dan kesepakatan itulah mereka terikat dan boleh mengesampingkan peraturan yang ada.
Termasuk juga mengenai persoalan tentang hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung, karena prinsip harta perkawinan adalah harta bersama yang dimiliki oleh suami dan istri, maka hutang pun adalah merupakan kewajiban mereka bersama untuk melunasinya.

Ketentuan dasar tentang Perceraian diatur pada Pasal 39.
Pasal 39
1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri.
3. Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersebut.

Menyimpang dari ketentuan yang diatur dalam pasal 35 (1) dan pasal 36 (1), Undang-undang No. 1 tahun 1974 memberikan kelonggaran kepada suami/istri untuk mengatur tentang harta bersama dalam perkawinan dalam. Pengaturan itu dikenal dengan Perjanjian Perkawinan yang diatur dalam Pasal 29.
Pasal 29
1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
3. Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Karena perjanjian perkawinan telah mengatur masalah kepemilikan akan harta dalam perkawinan, maka sebagai konsekuensinya adalah para pihak akan mengatur hartanya masing-masing selama perkawinan berlangsung. Dengan demikian hutang yang dibuat salah satu pihak, tidak membebani pihak lainnya untuk melunasinya, maksudnya jika suami berhutang kepada pihak ketiga maka suamilah yang bertanggung jawab melunasinya dan pihak ketiga tidak dapat melakukan tagihan kepada istri. Demikian pula sebaliknya.
Perjanjian perkawinan dapat dicabut atau dibatalkan oleh para pihak selama perkawinan berlangsung, dan bila hal itu terjadi maka berlakulah ketentuan-ketentuan harta bersama dalam perkawinan. Harta bersama adalah salah satu dari akibat perkawinan, demikian juga kemungkinan adanya anak.


Peraturan Pemerintah RI No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

Ketentuan mengenai alasan-alasan perceraian dan prosedur pengajuan gugatan perceraian terdapat pada Pasal 19, 20, 21, 22, dan 23.
Pasal 19
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjdi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;
f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Pasal 20
1. Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
2. Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat.
3. Dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat. Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan Republik Indonesika setempat.

Pasal 21
1. Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 19 huruf b, diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat.
2. Gugatan tersebut dalam ayat 1 dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah.
3. Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama.

Pasal 22
1. Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 19 huruf f, diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman tergugat.
2. Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami-isteri itu.

Pasal 23
Gugatan perceraian karena alasan salah seorang dari suami-isteri mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat sebagai dimaksud dalam Pasal 19 huruf c, maka untuk mendapatkan putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.


KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB KE TIGA
Tentang Hak Milik (Eigendom)
BAGIAN KE SATU
Ketentuan-ketentuan umum
572. Tiap-tiap hak milik harus dianggap bebas adanya.
Barang siapa membeberkan mempunyai hak atas kebendaan milik orang lain, harus membuktikan hak itu.

BAGIAN KEDUA
Tentang cara memperoleh hak milik
584. Hak milik atas sesuatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan dengan pemilikan, karena perlekatan; karena daluwarsa, karena pewarisan, baik menurut undang-undang, maupun menurut surat wasiat, dan karena penunjukkan atau penyerahan berdasarkan atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu.


KESIMPULAN
1. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 36 ayat 2, Undang-undang No.1 tahun 1974, mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya tanpa harus meminta persetujuan dari suami atau istrinya dan tanpa harus mengajukan gugatan perceraian di Pengadilan apabila suami atau istri sudah melanggar ketentuan dalam Pasal 34 Undang-undang No. 1 tahun 1974 dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah RI No. 9 tahun 1975.
2. Untuk mengurus proses kepemilikan harta bawaan, misalnya hak milik atas suatu kebendaan yang diperoleh melalui KPR, sesuai dengan Pasal 572 dan 584 KUHPerdata, sertifikat asli bukti kepemilikan atas benda (tanah dan/atau rumah yang berdiri di atasnya) tidak perlu menunggu putusan proses perceraian di Pengadilan, cukup dengan surat bukti nikah dan Perjanjian KPR atas nama yang bersangkutan.
3. Mengenai harta bersama, yaitu harta yang diperoleh selama perkawinan, untuk memisahkan hak atas harta bersama tersebut menjadi hak masing-masing pihak diperlukan pengajuan gugatan perceraian ke Pengadilan.
a. Dalam hal gugatan perceraian dikarenakan alasan sebagaimana dimaksud pada Pasal 19 huruf b, Peraturan Pemerintah RI No. 9 tahun 1975, yaitu apabila salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya, pihak lain yang ditinggalkan dapat mengajukan gugatan perceraian dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 21 Peraturan Pemerintah RI No. 9 tahun 1975, yaitu (1) diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat, (2) gugatan dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah, (3) gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama.
b. Dalam hal perceraian dikarenakan alasan sebagaimana dimaksud pada Pasal 34 ayat 1 dan 2, UU No. 1 tahun 1974, yaitu tidak dilaksanakan kewajiban masing-masing pihak : (1) kewajiban suami untuk melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, (2) kewajiban istri untuk mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya, (3) masing-masing dapat mengajukan gugatan ke pengadilan, gugatan perceraian tersebut dilakukan dengan mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 Peraturan Pemerintah RI No. 9 tahun 1975, yaitu (1) gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat, (2) apabila tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat, (3) apabila tergugat bertempat kediaman di luar negeri gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat. Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.
c. Dalam hal gugatan perceraian dikarenakan alasan sebagaimana dimaksud pada Pasal 19 huruf f, Peraturan Pemerintah RI No. 9 tahun 1975, yaitu apabila antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga, gugatan perceraian tersebut dilakukan dengan mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah RI No. 9 tahun 1975, yaitu : (1) gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman tergugat, (2) gugatan dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami-isteri itu.
d. Dalam hal gugatan perceraian dikarenakan alasan sebagai dimaksud dalam Pasal 19 huruf c, Peraturan Pemerintah RI No. 9 tahun 1975, yaitu apabila salah seorang dari suami-isteri mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat, sesuai dengan Pasal 23 Peraturan Pemerintah RI No. 9 tahun 1975, maka untuk mendapatkan putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.


PERSIAPAN GUGATAN PERCERAIAN DAN PROSES PERCERAIAN

A. Persiapan dan Persyaratan Mengajukan Gugatan Perceraian
1. Mengumpulkan bukti-bukti perkawinan, seperti:
a. buku nikah;
b. akta kelahiran anak-anak (jika punya anak);
c. kartu keluarga;
d. bukti-bukti kepemilikan aset (rumah/mobil/buku tabungan);
2. Membuat kronologis permasalahan;
3. Membuat gugatan perceraian;
4. Persiapan biaya pendaftaran gugatan perceraian;
5. Mendaftarkan gugatan perceraian di pengadilan yang berwenang.
6. Mempersiapkan dua orang saksi (misalnya Ibu kandung dan Lurah setempat).

B. Proses Persidangan Perceraian Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri
Bagi orang Islam (nikah secara muslim) jika ingin bercerai maka gugatan perceraiannya diajukan di Pengadilan Agama, sementara bagi orang non-muslim gugatan perceraian diajukan di Pengadilan Negeri.
Urut-urutan sidang perceraian di Pengadilan Agama :
1. sidang perdamaian, pembacaan gugatan. Diadakan mediasi / perdamaian (maksimal 3 kali pertemuan);
2. sidang jawaban;
3. sidang replik;
4. sidang duplik;
5. sidang pembuktian dari penggugat;
6. sidang pembuktian dari tergugat;
7. sidang kesimpulan; dan
8. sidang putusan.

Urut-urutan sidang perceraian di Pengadilan Negeri :
1. sidang mediasi (perdamaian) maksimal 3 kali pertemuan;
2. sidang jawaban;
3. sidang replik;
4. sidang duplik;
5. sidang pembuktian dari penggugat;
6. sidang pembuktian dari tergugat;
7. sidang kesimpulan;
8. sidang putusan.

HAK PAKAI ATAS TANAH NEGARA YANG MENJADI KONSESI PENGEBORAN MINYAK SEBAGAI AGUNAN KREDIT

1. HAK TANGGUNGAN
Hak tanggungan sebagai hak jaminan dilahirkan oleh Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang kemudian dirumuskan lebih lanjut dalam Undang-undang tersendiri dengan lahirnya Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT). Hak tanggungan adalah salah satu jenis dari hak jaminan disamping Hipotik, Gadai, dan Fidusia. Hak jaminan dimaksudkan untuk menjamin utang seorang debitor yang memberikan hak utama kepada seorang kreditor tertentu, yaitu pemegang hak jaminan itu untuk didahulukan terhadap kreditor-kreditor lain apabila debitor cidera janji. Hak tanggungan hanya menggantikan hipotik sepanjang yang menyangkut tanah saja.
Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaiman dimaksud pada dalam UUPA, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain (Pasal 1 ayat 1 UUHT).

2. HAK PAKAI SEBAGAI AGUNAN KREDIT
Menurut UUPA yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan adalah hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan. Sedangkan menurut UUHT yang dapat ditunjuk sebagai obyek hak tanggungan adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai atas tanah Negara yang menurut sifatnya dapat dipindahtangankan.
Di dalam praktik perbankan, tanah dengan hak pakai seringkali dijadikan agunan kredit, hal itu didasari bahwa pada kenyataannya hak pakai adalah hak atas tanah yang terdaftar pada daftar umum (pada Kantor Pertanahan) dan dapat dipindahtangankan. Namun mengingat di dalam UUPA, hak pakai tidak disebutkan sebagai hak atas tanah yang dibebani dengan hak tanggungan, bank tidak dapat menguasai tanah hak pakai itu sebagai agunan dengan membebankan hipotik. Cara yang ditempuh oleh bank adalah dengan melakukan pengikatan Fidusia dan atau dengan meminta surat kuasa menjual dari pemiliknya. Pada praktiknya, dibutuhkan agar supaya hak pakai dapat dibebani juga dengan hak tanggungan, akan tetapi hanya hak pakai atas tanah Negara yang menurut sifatnya dapat dipindahtangankan saja yang dapat dibebani dengan hak tanggungan sedangkan hak pakai atas tanah hak milik akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 4 ayat 2 dan 3 UUHT).
Hak pakai atas tanah Negara yang menurut sifatnya dapat dipidahtangankan meliputi hak pakai yang diberikan kepada orang-perseorangan atau badan hukum untuk jangka waktu tertentu yang ditetapkan di dalam keputusan pemberiannya. Walaupun di dalam Pasal 43 UUPA ditentukan bahwa untuk memindahtangankan hak pakai atas tanah Negara diperlukan izin dari pejabat yang berwenang, namun menurut sifatnya hak pakai itu memuat hak untuk memindahtangankan kepada pihak lain. Izin yang diperlukan dari pejabat yang berwenang hanyalah berkaitan dengan persyaratan apakah penerima hak memenuhi syarat untuk menjadi pemegang hak pakai.
Hak pakai dalam UUPA tidak ditunjuk sebagai objek hak tanggungan, karena pada saat itu tidak termasuk hak-hak atas tanah yang wajib didaftar dan karenaya tidak dapat memenuhi syarat publisitas untuk dapat dijadikan jaminan utang. Dalam perkembangannya hak pakai pun harus didaftarkan, yaitu hak pakai yang diberikan atas tanah Negara sesuai dengan yang tertuang di dalam UUHT Pasal 4 ayat 2.

3. KONSESI PENGEBORAN MINYAK
Konsesi pengeboran minyak adalah lisensi eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada perusahaan minyak untuk mengeksplorasi dan mengembangkan minyak. Perusahaan minyak menerima hak eksklusif untuk mengeksplorasi dan mengebor di wilayah geografis tertentu dan mendapatkan sebuah kontrak kepemilikan hak atas minyak di tempatnya. Dengan demikian, Negara memberi hak kepada semua produksi minyak dalam pertukaran untuk pembayaran bonus, sewa, royalti, dan pajak.
Kandungan minyak di suatu wilayah geografis tertentu yang certified bisa digunakan sebagai pendukung untuk menyatakan bahwa proyek tersebut feasible dalam pengajuan kredit sehingga akan meningkatkan tingkat kepercayaan kreditor kepada debitor.

4. PEMBERIAN KREDIT OLEH BANK DENGAN AGUNAN SKHMT HAK PAKAI ATAS TANAH NEGARA
Pada saat pemberian kredit, pihak bank akan melakukan penilaian atas permohonan kredit tersebut. Penilaian atas subyek dan obyek jaminan bertujuan untuk menimbulkan kepercayaan bagi pihak bank untuk menghindari masalah di kemudian hari atas jaminan tersebut. Dalam dunia perbankan digunakan prinsip-prinsip penilaian kredit 5C, yaitu : Character, Capital, Capacity, Condition of Economic, dan Collateral (Surat Hijau Sebagai Jaminan Hutang : Seminar MAPPI-GAPPI, Surabaya). Pada urutan prinsip tersebut jaminan (Collateral) berada pada urutan terakhir. Berdasarkan UUHT, Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKHMT) atau Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) dapat melekat pada jaminan yang memiliki sertifikat hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai atas tanah Negara yang menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. Hal ini menyebabkan bank berusaha memberikan kredit yang jaminannya “aman” tanpa takut digugat pihak ketiga atau kreditor lain yang mengajukan gugatan sebelum debitor melunasi hutang-hutangnya.
Menurut UUHT Pasal 15 ayat 1, SKHMT wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT. SKHMT tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan hak tanggungan, misalnya kuasa untuk menjual, menyewakan objek hak tanggungan, atau memperpanjang hak atas tanah. SKHMT harus dibuat secara khusus hanya memuat pemberian kuasa untuk membebankan hak tanggungan saja, sehingga dengan demikian terpisah dari akta-akta lain.
Berdasarkan Undang-undang Pokok Perbankan (UUP), pemberian kredit harus didasarkan pada keyakinan bank atas kemampuan dan kesanggupan debitor untuk melunasi hutangnya sesuai perjanjian. Untuk itu bank harus melakukan penilaian dengan seksama terhadap watak, kemampuan, modal prospek usaha debitor, dan agunan.

Dari pengertian tersebut, jaminan kredit dapat berfungsi sebagai :

a. Jaminan yang didasarkan atas keyakinan bank terhadap karakter dan kemampuan nasabah untuk membayar kembali kreditnya, dengan dana yang berasal dari hasil usaha yang dibiayai kredit, tercermin dalam arus kas nasabah (first way out). Untuk memperoleh keyakinan tersebut, bank melakukan analisa dan evaluasi atas watak / karakter, kemampuan, modal, serta prospek debitor.
b. Jaminan yang didasarkan atas likuidasi agunan (second way out) apabila di kemudian hari first way out tidak dapat digunakan sebagai alat pembayaran kembali kredit.

Berdasarkan UUP Pasal 1 ayat 23, agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitor kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan prinsip syariah. Agunan hanya salah satu syarat yang diharuskan dalam pemberian fasilitas kredit selain bank juga juga harus menilai watak, kemampuan, modal, dan prospek usaha debitor.
Berkaitan dengan penilaian untuk kepentingan jaminan, maka sesuai Standar Penilaian Indonesia (SPI) jenis real property yang dinilai adalah tanah dan bangunan dengan sertifikat yang dibebani hak tanggungan.

Tidak semua pihak bank mau menerima SKHMT hak pakai atas tanah Negara sebagai jaminan, karena sewaktu-waktu ijin tersebut dicabut sepihak oleh pejabat yang ditunjuk sebelum masa berakhirnya ijin dengan tanpa ganti rugi apapun, jika :

a. Tanah tersebut dibutuhkan untuk kepentingan pemerintah.
b. Pemegang ijin melanggar ketentuan yang telah ditetapkan.
c. Pemegang ijin menelantarkan atau tidak memanfaatkan tanah tersebut lebih dari dua tahun.
d. Persyaratan yang diajukan untuk mendapatkan ijin ternyata tidak dipertanggungjawabkan.

5. KESIMPULAN
Hak yang dapat ditunjuk sebagai obyek hak tanggungan adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai atas tanah Negara yang menurut sifatnya dapat dipindahtangankan.
SKHMT wajib dibuat secara khusus dengan akta notaris atau akta PPAT dan tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan hak tanggungan. Dalam kaitannya dengan SKHMT, agunan bukan sesuatu yang harus atau mutlak disediakan debitur, namun agunan merupakan benteng terakhir dalam upaya pengembangan kredit apabila terjadi kegagalan pembayaran kredit yang bersumber dari first way out. Oleh karena itu, nilai agunan sangat penting sebagai indikator pembayaran kembali kegagalan pembayaran kredit.

Tidak semua pihak bank mau menerima SKHMT hak pakai atas tanah Negara sebagai jaminan, karena sewaktu-waktu ijin tersebut dicabut sepihak oleh pejabat yang ditunjuk sebelum masa berakhirnya ijin tanpa memberikan ganti rugi apapun.

SKHMT hak pakai atas tanah Negara dapat diajukan sebagai agunan kredit bagi konsesi pengeboran minyak yang diberikan oleh Negara kepada perusahaan minyak untuk mengeksplorasi dan mengembangkan minyak di wilayah geografis tertentu, namun diperlukan analisa terlebih dahulu dari aspek kredit (5C) lainnya bukan hanya sebagai agunan saja. Penilaian penting dilakukan karena tanah yang dijadikan agunan harus memiliki kualifikasi legalitas yang jelas dan hak pakai atas tanah dapat dibebani hak tanggungan. Selain itu, kandungan minyak di suatu wilayah geografis tertentu yang certified bisa digunakan sebagai pendukung untuk menyatakan bahwa proyek tersebut feasible dalam pengajuan kredit sehingga akan meningkatkan tingkat kepercayaan pihak bank kepada debitor.

Persekutuan Perdata

PERSEKUTUAN PERDATA

Maatschap atau Persekutuan Perdata, adalah kumpulan dari orang-orang yang biasanya memiliki profesi yang sama dan berkeinginan untuk berhimpun dengan menggunakan nama bersama. Maatschap sebenarnya adalah bentuk umum dari Firma dan Perseroan Komanditer (Comanditaire Venotschap). Dimana sebenarnya aturan dari Maatschap, Firma dan CV pada dasarnya sama, namun ada hal-hal yang membedakan di antara ketiganya.
Maatschap meruapakan bentuk kerjasama untuk mencari keuntungan yang paling sederhana baik cara pendirian maupun cara pembubarannya yang tidak memerlukan persyaratan formal sebagaimana diatur di dalam KUH Perdata Buku III, Bab 8 pasal 1618 s.d. 1652.

Jadi, yang dimaksud persekutuan perdata adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu dalam persekutuan dengan maksud untuk mencari keuntungan. Yang dimaksud memasukkan sesuatu dapat berupa uang, barang, goodwill, konsesi, cara kerja, tenaga biasa dan lain-lain.
Cara pendirian persekutuan perdata dimulai saat ditandatanganinya akta pendirian di notaris dan selanjutnya didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan negeri dan akan mendapatkan nomor register dari Pengadilan atas persekutuan perdata yang didirikan dan biaya ditetapkan oleh notaris.
Pada dasarnya pendirian suatu Maatschap dapat dilakukan untuk 2 tujuan, yaitu:
1. Untuk kegiatan yang bersifat komersial
2. Untuk persekutuan-persekutuan yang menjalankan suatu profesi.
Contohnya adalah persekutuan di antara para pengacara atau para akuntan,
yang biasanya dikenal dengan istilah associate, partner, rekan atau
Co (compagnon).
Mengenai Maatschap ini diatur dalam bab ke VIII bagian pertama dari buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia (BW).
Karakteristik dari Maatschap yang tidak dimiliki oleh Firma dan CV adalah: Maatschap merupakan kumpulan dari orang-orang yang memiliki profesi yang sama. Oleh karena itu, didalam pembukaan suatu Maatschap Akuntan misalnya, maka para sekutunya harusnya hanya orang-orang yang berprofesi sebagai Akuntan saja. Jadi tidak boleh dibuat misalnya: Kantor Akuntan Publik Suswinarno, Ak dan Rekan, tapi ternyata para sekutunya terdiri dari Notaris, Pengacara ataupun konsultan manajemen. Demikian pula untuk Maatschap yang dibentuk oleh para Notaris ataupun para pengacara.
Seperti halnya Firma, maka dalam Maatschap para sekutunya masing-masing bersifat independen. Artinya, masing-masing sekutu berhak untuk bertindak keluar dan melakukan perbuatan hukum atas nama dirinya sendiri, khususnya untuk tindakan pengurusan sepanjang hal tersebut tidak dilarang dalam anggaran dasarnya.
Pembatasan tindakan keluar tersebut biasanya mengacu pada perbuatan yang bersifat kepemilikan, ataupun yang memberati Maatschap tersebut dengan suatu hutang atau kewajiban tertentu. Dalam hal demikian, maka perbuatan hukum dimaksud harus mendapat persetujuan dari sekutu yang lain.
Dalam pendirian suatu Maatschap, para sekutu diwajibkan untuk berkontribusi bagi kepentingan Maatschap tersebut. “Kontribusi” ini dalam istilah hukumnya disebut “inbreng”(pemasukan ke dalam Perseroan). Para sekutu dapat berkontribusi dalam berbagai bentuk, yaitu uang, barang, good will, dan know how. Good Will itu sendiri bisa berupa apa saja, seperti: pangsa pasar yang luas, jaringan, relasi, ataupun Merek (brand image). Sedangkan Know how bisa berupa keahlian di bidang tertentu, seperti: dalam Maatschap Kantor Hukum, bisa berupa keahlian di bidang penanganan kasus kejahatan di dunia maya misalnya. Jadi bisa apa saja, yang penting oleh para persero (sekutu) tersebut dianggap memiliki manfaat dan nilai ekonomis.
Syarat pendirian suatu Maatschap (Persekutuan Perdata), sama dengan Firma ataupun CV, yaitu harus didirikan oleh paling sedikit oleh 2 orang berdasarkan pejanjian dengan akta notaries yang dibuat dalam bahasa Indonesia. Karena, pada dasarnya akta pendirian Maatschap sebenarnya adalah bentuk kesepakatan antara para sekutu untuk berserikat dan bersama-sama dan mengatur hubungan hukum diantara para sekutu tersebut.
Berakhirnya persekutuan perdata diatur di dalam pasal 1646 KUH Perdata, apabila :
1. Karena jangka waktu berdirinya pesekutuan perdata tersebut sudah habis;
2. Karena barang yang menjadi obyek persekutuan perdata itu menjadi lenyap, atau telah diselesaikannya perbuatan yang menjadi pokok persekutuan perdata tersebut;
3. Karena salah seorang angota persekutuan perdata meninggal dunia, dikuratil, jatuh failit;
4. Karena anggota persekutuan perdata itu sendiri meminta agar persekutuan dibubarkan.

BADAN USAHA SELAIN MAATSCHAP
PERSEROAN TERBATAS

Perseroan Terbatas ( PT ) adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan dan peraturan pelaksananya (pasal 1 ayat 1).


PERSEKUTUAN KOMANDITER

Berdasarkan ketentuan pasal 19 KUHD Persekutuan Komanditer adalah suatu perseroan yang dibentuk oleh satu orang atau lebih dimana salah satu pihak bertanggung jawab seluruhnya dan pihak lain sebagai pelepas uang. Di dalam persekutuan Komanditer ada 2 anggota yaitu anggota persekutuan diam ini bersifat pasif artinya mereka hanya cukup melepaskan uang saja tapi juga akan memperoleh bagian keuntungan atau sebaliknya juga turut memikul kerugian dan anggota persekutuan aktif artinya mereka itulah yang mengelola perusahaan. Cara membagi keuntungan dan kerugian persekutuan disesuaikan dengan besar kecilnya resiko dan jumlah modal yang dimasukkan dalam perusahaan.


PERSEKUTUAN FIRMA

Yang dimaksud persekutuan firma adalah tiap-tiap perserikatan yang didirikan untuk menjalankan usaha bersama di dalam satu nama yang terlihat pada adanya nama bersama (misalnya : adanya papan nama firma) dan adanya tanggung jawab yang bersifat solider yang diatur dalam pasal 18 KUHD.